Sabtu, 04 Februari 2023, di Japricoffe Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) telah terlaksana EPN (Episentrum Peradaban Nusantara) yang diadakah oleh Aktivis Peneleh Regional Jabodetabek. EPN merupakan agenda yang bertujuan untuk membumikan ideologi Nusantara di tengah pemuda yang mulai kehilangan jangkar budaya/jati diri bangsa. Acara ini dihadiri oleh belasan peserta dan di isi oleh enam pembicara, ke enam pembicara berbicara terkait kota megapolitan. Di mana kota megapolitan identik dengan gedung-gedung yang tinggi dan megah, jumlah penduduk yang padat, dan mayoritas semua pekerja keras. Selain itu, juga penampakan jalanan yang tidak pernah longgar alias macet di mana-mana.
Dalam paparan pembukanya sebagai pembicara pertama, Ibnu Syifa yang berasal dari perwakilan Aktivis Peneleh menyatakan bahwa hampir semua yang terjadi di Jabodetabek tak jauh dari kebutuhan finansial. “Sebuah kota yang kapitalis, semua bisa diperjualbelikan. Saya mengamati disekitar selama perjalanan dari Depok ke Tangsel ini sudah habis beberapa puluh ribu untuk naik KRL dan ojek online. Selama diperjalanan pula, semua orang hening dan tidak ada yang bertegur sapa bahkan semua kepala menunduk mengarah ke gadgetnya masing-masing. Apakah itu salah satu budayanya yang sudah tertanam di kesehariannya? Mungkin pula itu salah satu dampak saat berinteraksi hanya sebatas kebutuhan seorang saja.”
Penutup dari Ibnu Syifa “pola hidup masyarakat hari ini, dampak dari penjajahan selama 300 tahun yang dilakukan bangsa barat, dan yang mengerikan dari penjajahan ini ialah penjajahan penjajahan moral dan akhlak.
Kemudian disambung dengan pemaparan pembicara kedua yaitu Irham Widyananda asal Sumbawa, NTB selaku pemuda yang sedang meniti ilmu di kampus Pamulang, Tangsel. Irham berdomisili di Pamulang selama tujuh tahun. Irham menceritakan perbedaan adat istiadat dan budaya dari tanah asal dengan tanah rantaunya. Ketika awal Irham menginjak Tangsel, ia cukup sulit untuk menyesuaikan diri hingga membutuhkan sekitar dua tahun untuk bisa menerima kebiasaan orang-orang di Pamulang, Tansel baik di lingkungan kampus maupun tempat ia tinggal. Baginya kota Tangsel sangat pesat perkembangannya, apalagi jika ditinjau dari infrastruktur dan bangunan yang berdiri megah, serta letak wilayah kota Tansel yang sangat strategis yaitu berada ditengah-tengah kota Jabodetabek. Jika ditinjau dari culture nya, Tangsel seperti kehilangan identitas. Panggung budaya hanya menjadi ceremonial ketika ada acara atau memperingati hari besar tertentu. Hal itu dapat disebabkan penduduk Jabodetabek kebanyakan warga non lokal alias pendatang sehingga tidak begitu kental akan budaya lokalitas khusunya di Jabodetabek sendiri yang harusnya mampu dijunjung tinggi nilai kebudayaannya. Selain itu, kurangnya andil ‘hukum’ yang berlaku untuk penduduk wilayah tersebut. Padahal dengan adanya hukum yang diterapkan ataupun dalam bentuk aturan-aturan sederhana yang mengatur tentang aktivitas kebudayaan, itu mampu menjaga tradisi kebudayaan sebuah wilayah atau daerah tetap kokoh.
Berbeda dengan kedua pembicara sebelumnya, Eka Febrianto yang merupakan pembicara ketiga ini warga asli Kota Tangerang. Dibuka dengan cerita masa lampau ketika Indonesia di jajah oleh kolonial Belanda. Kata Eka, “Mungkin jika Indonesia tidak di jajah oleh Belanda dulu, kita tidak akan terbentuk menjadi orang-orang yang kuat. Karena terbiasa nya pribumi mengerjakan pekerjaan yang keras dan pendidikan yang keras pula, maka itu menjadi turunan untuk jiwa kita yang kuat hingga detik ini. Pada saat itu pribumi terlalu cerdas sehingga tidak merasa sedang terjajah dari tiap-tiap mereka, terjajah secara pikiran maupun ideologi”. Singkat cerita Eka, ia menyampaikan bahwa culture budaya orang kota mulai terliberalisasi. Budaya di kota megapolitan sedikit demi sedikit akan hilang dan tersingkirkan.
Diskusi semakin menarik setelah ketiga pembicara menyampaikan gagasan dan refleksinya. Pada pembicara keempat ini, mulai memanas karena terdapat ketidaksepakatan dengan ketiga pembicara. Teguh Saputro sebagai pembicara keempat menyampaikan bahwa kota kota megapolitan baginya masih terlihat mencerahkan. Menurut Teguh, kebudayaan tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang sempit namun akan terus berkembang sesuai bergantinya jaman. Teguh menjahit peristiwa tentang kebudayaan di kota megapolitan mulai dari masa lampau, masa kini dan masa sekarang. Baginya, kota megapolitan memiliki wajah kebudayaannya sendiri yaitu ada 3 kelompok (inklusivisme, mampu menerima perbedaan; kosmopolitalisme, merangkul perbedaan; positivisme, kecenderungan memihak realitas)
Pembicara terakhir yaitu dari Farhan Effer Dalimunthe sebagai pelengkap gagasan dari keempat pembicara sebelumnya. Munthe menyampaikan pemahaman tentang kebudayaan. Jika dilihat secara realitas, kota megapolitan ini memang sangat besar biaya hidupnya, namun juga gaji yang diterima jumlahnya besar (UMR). Jadi menurut saya itu sesuatu yang seimbang. Munthe melihat sisi kebudayaan kota megapolitan dari kearifan lokal yang sedari dulu sudah terbentuk yaitu gotong royong, musyawarah dan sopan santun. Seiring berjalannya waktu dan begitu pesat permainan media mengenai kabar berita terupdate, menurut Munthe pendidikan karakter sangat diperlukan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin besar nantinya. Misal dalam hal musyawarah, di mana setiap orang mampu mengemukakan pendapat sebagai aspirasi untuk menghasilkan kesepakan yang ideal, bukan malah menjadi ajang kepentingan pribadi. Sehingga perlunya pengetahuan peran dan pembentukan karakter seseorang sejak dini agar tidak melenceng ketika massanya tiba.
Acara berjalan dengan hangat, diskusi intelektual mewarnai atmosfer forum malam itu. Forum diakhiri dengan kesimpulan masing-masing dari tiap pembicara maupun peserta, satu kesempakatan yang mungkin tidak terdeklarasikan secara explicit adalah bagaimana pemuda harus tahu akar budayanya. Karena memang itu lah takdir dan diri pemuda Indonesia seutuhnya. Di mana pun pemuda berada, dalam kondisi jaman seperti apapun pemuda harus berjangkarkan Religiositas, Kebudayaan dan Kebangsaan.